Catatan & Puisi

Omong Kosong

Hatiku bergejolak. Tidak ada yang bisa kuperbuat untuk mengisi hari kemerdakaan ini. Tak ada. Dikala teman-teman yang lain ikut membaur dengan masyarakat: mengadakan lomba, dangdutan, sepak bolaan, panjat pinang dll. Praktis, tidak ada kegiatan yang kulakukan selain melihat medsos dan sesedikit membaca serta menonton berita tv. Aku sendiri. Tadi aku sempat melihat proses upacara bendera di Istana Merdeka. Pembawa bakinya cukup cantik. Ia selalu tersenyum.

Kelakuanku seolah mengamini bahwasanya aku betul-betul terpisah dari masyarakat sekitar. Berada dimenara gading. Jauh sekali. Seolah olah kehidupanku cuma kampus kos kampus kos. Seolah-olah, tidak ada kehidupan disekitar kosanku. Aku terkesan tak peduli. Tak membaur. Tak membantu masyarakat sekitar. Padahal, seminggu sebelum 17 agustus, banyak lomba diadakan. Sampai tadi malam prosesi puncaknya: Pesta rakyat tepat didepan kosanku. Namun, aku seolah sudah merasa malu dan takut dengan masyarakat sekitar. Hanya melihat dari kejauhan dan langsung gas.

Padahal, dekorasinya cukup apik. Disepanjang jalan dihiasi lampu minyak botol. Entah namanya sudah benar atau tidak, saking tidak tahunya aku dengan pola-pola berkehidupan masyarakat disekitarku.

Apa karena aku tidak tahu bahasa Jawa? Sehingga enggan berbaur dengan masyarakat sekitar kosanku? "Ah banyak alasan"

Aku seolah-olah takut, takut dengan masyarakat. Padahal, disetiap bahan kritikanku untuk mahasiswa dan aktivis lainnya, aku selalu mengatakan bahwa kita harus berpihak pada masyarakat. Pun, segala embel-embel heroik khas mahasiswa itu.

Tapi, aku sendiri sudah sejauh apa berbaur dengan masyarakat? Tetangga disamping kos ku saja aku tidak tahu. Petani belakang kosanku saja aku tidak tahu. Pak Rt nya saja aku tidak tahu. Semuanya aku tidak tahu.

Apa yang harus kuperbuat? Inikah bukti kalau terlalu banyak berteori, terlalu banyak berdiskusi soal rakyat, dan kemudian kita terlalu fokus dan sudah merasa nyaman dengan bahan diskusi itu, membuat kita jauh dari masyarakat? Begitukah?

Jujur, aku selama ini selalu tertarik dengan diskusi-diskusi soal problem kemasyarakatan. Petani, buruh, mahasiswa, dll.

Tapi,,,, Ah sudahlah. Sepertinya terasa berat untuk melangkah dan menyapa para petani didepan, disamping, dan dibelakang kosanku. Sangat berat.

Sepertinya aku penyakit kronis. Entah mungkin penyakit jiwa. Haruskahku ke ahli psikologi?

Ijinkan aku mencaci maki diriku sendiri: Taekkkkkkk, omong kosong, terlalu banyak wacana,, dasar apatis

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog

Diberdayakan oleh Blogger.