12 Mei 2014
Sungguh
suatu momen yang pas, yang paling enak untuk diceritakan. Entah itu momen
kebersamaan, potret buram masyarakat dan lain-lain. Setidak-tidaknya momen itu
harus dirasakan sendiri secara langsung, bukan berdasarkan rekaan orang lain.
Baru
beberapa hari yang lalu, tepatnya 11 mei 2014, Kami (Solid) ber-9
menyelesaikan pendakian yang cukup menguras duit dan tenaga. Sebelum itu,
beberapa minggu sebelumnya, sebagian teman-teman saya yang ikut mendaki, rela
berkorban menguras keringatnya untuk olah raga. Menurut mereka dan wajib dilakukan ketika hendak mendaki
gunung adalah olahraga yang rutin. Musababnya, fisik sangat diperlukan untuk
pendakian. Aku juga menyadari itu, tapi sayangnya selama seminggu sebelum
berangkat, aku tidak memaksimalkan diri untuk olah raga, hahaha.
Waktu
menunjukan pukul 21.30 saat itu, ketika kita hendak berangkat menuju Kawasan
Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah. Ber-9 orang dengan menggunakan 5 sepeda motor, kami
menelurusi malam “sepi 9 mei” itu dengan agak santai. Kondisi jalanan saat itu
tidak terlalu padat. Bahkan ketika sampai di Temanggung, hanya satu dua motor, mobil dan truk yang
lewat. Kondisi seperti itu jelas sangat beruntung bagi kami. Tancap gas tak
perlu ragu-ragu. Sampai di Base camp Gunung Prau sekitar pukul 02.00 WIB dini hari
tanggal 10 mei 2014.
Jalanan
sepi beserta udara dingin menusuk menyambut kami di basecamp tersebut. Berpuluh-puluh
motor parkir di halaman basecamp. Ternyata kami tidak sendiri. Mas-mas penjaga
bascamp langsung mempersilakan kami masuk ke dalam basecamp yang berada
dibelakang rumah, seingga kami harus memutari bascamp melalui gang kecil di
kiri halaman depan basecamp.
Sampai
didalam bascamp, ak sendiri kaget, ternyat tempat kami menginap sungguh kecil
dan itu buat semua pendaki. Tetapi kebiasaanya, basecamp itu hanya ditempati
pendaki untuk menginap sejenak dan sebagai tempat parkir motor. Saat melihat
ruangan tempat pendaki itu, hanya sebagian pendaki saja yang ada, dan itupun
mereka ingin naik ke puncak gunung prau tersebut.
Tepat
pukul 09.00 pagi, kami siap-siap untuk berangkat menuju puncak Prau dengan
ketinggian 2565 meter diatas permukaan laut (mdpl). Sebenarnya prau sendiri bukan termasuk gunung
yang bentuknya “segitiga”, Prau lebih tepat disebut sebagai pegunungan. Dari
atas pegunungan prau, kita bisa melihat view yang sangat indah yaitu Gunung
Slamet, Sindoro, Sumbing, Lawu, Merbabu dan Merapi. Pada khususnya, gunung sindoro dan sumbing-lah
yang terlihat jelas.
Golden SunRise di puncak Prau (http://jimzzz.files.wordpress.com/2013/03/2013-03-10-05-52-09.jpg) |
Ketika
dipertengahan jalan, saat itu tepatnya di pos 2 pendakian dari jalur Patak Banteng, kami bertemu dengan
rombongan mahasiswa UNSOED. Sempat beristirahat sambil bercerita, kemudian
rombongan unsoed itu pamitan untuk lanjut. Beberapa menit kemudian kita lanjut
lagi. Setelah jalan, kiranya 20 menit, kami bertemu dengan sebagian orang rombongan
unsoed, tetapi mereka malah turun kebawa. Ketika ditanyakan maksudnya, menurut
mereka, mereka kekurangan air, jadi harus ambil air lagi. Aku sendiri heran,
betapa fisik mereka sungguh ngeri. Bayangkan, sudah setengah jalan mereka turun
lagi, dan kemudian naik lagi nantinya.
Jalan
beberapa menit, kami bertemu dengan rombongan unsoed yang sebagian lagi, sedang
beristirahat dan akan menunggu temannya yang turun. Saat itu kami juga
memutuskan untuk beristirah kembali. (aku sadari kondisi fisik rombongan kita
sangat kurang, sering berisirahat). Sekitar setengah jam beristirahat dan
berfoto-foto, kami lanjut dan pamitan sama teman-teman unsoed.
Track
diawal perjalanan terasa mudah dan tidak terlalu terjal. Ketika sampai didekat
puncak, sekitar 165 mdpl lagi, track mulai curam, aku sendiri agak sedikit
kesusahan melewati track tersebut. Apalagi ditambah dengan tanah yang licin dan
tempat berpegangan yang agak kurang. Pada akhirnya sekitar pukul 14.00 kami
melewati rintangan tersebut, dan mendapati track sudah landai lagi- pertanda
bahwa kita sudah aman. Saat itu kita disuguhi perbukitan yang dipenuhi
bunga-bunga kecil. Sangat indah pemandangan itu, dan aku baru saja melihat hal
yang benar-benar baru tersebut, Munculah pikiran untuk beristirahat sejenak
sambil menunggu teman-teman rombangan kami yang lain.
Setelah
teman-teman sudah sampai, ak menyudahi permainan seluring-yang saat itu dibawa
oleh mereka. Sesampainya di Camp Ground, kami beristirahat sejenak. Setelah itu
kami membangun 2 tenda untuk tempat bermukim kami. Tenda itu tepat dibawah spot
pepohonan. Maklum spot itu merupakan tempat yang paling aman. Pasalnya ketika
membangun tenda di tempat terbuka, ada ketakutan angin akan menghempaskan
tenda-tenda tersebut. Angin di puncak memang sangat kencang ditambah suhu udara
yang sangat dingin. Bayangkan, jam 3 sore saja sudah seperti udara di subuh
menjelang terbitnya fajar.
Aku
sendiri saat itu tidak memakai jaket, dan beberapa saat kemudian, karena
merasakan dingin yang tak terhingga aku memakai jaket ku. Sekitar 30 menit
kemudian rombongan UNSOED datang dan langsung menemui kami. Salah seorang dari
rombongan tersebut cukup senior dalam hal pendakian, dia banyak membantu kami.
Saat itu dia memabntu kami yang masih pemula dalam menyalakan kompor kecil yang
menggunakan bahan bakar gas tabung berukuran xxx.
Salah
seorang rombongan dari UNSOED itu bernama Ade. Ade banyak memberikan saran2
dalam hal pendakian maupun tempat bermukim maupun cara-cara bertahan disuhu
ekstrim tersebut. Dia menyarankan agar jangan memakai jaket saat naik maupun
saat tiba dipuncak. Pasalnya, menurut dia, untuk bertahan dalam kondisi dingin
tersebut, tubuh perlu beradaptasi terlebih dahulu dengan suhu tersebut. Agar
bisa beradaptasi, penggunaan penghangat seperti jaket dll jangan digunakan
terlebih dahulu. Jika dilogikan memang benar, soalnya suhu dikala malam hari
bakalan lebih ekstrim lagi. Jika tubuh kita tidak menyesuaikan terlebih dahulu,
tubuh kita akan mengalami hipotermia. Itulah yang terjadi pada salah satu
rombongan aku. Tetapi, dia masih terkena gejala. Saat itu Ade sangat membantu
dan mengarahkan penanganan pertama bagi teman saya tersebut.
Malam
semakin malam, suhu semakin tinggi dan angin semakin tak terarah hembusanya.
Angin bergerak sacara acak (random). Tak terasa semakin banyak orang yang
datang. Sore yang hanya satu dua tenda, kini menjadi puluhan tenda. Maklum,
saat itu adalah akhir pecan. Aku sendiri tidak tau maksudnya mereka mendaki di
waktu sore dan malam
Waktu
menunjukan pukul 20.00 WIB di malam bertabur bintang saat itu, aku sendiri mampir
di depan tenda anak UNSOED. Saat itu mereka sedang duduk di perapian, depan
tenda mereka. Maklum tenda rombongan UNSOED sangat berdekatan dengan punya
kami.
Udara
hangat seakan memanggil aku untuk duduk lama di depan perapian bersama
rombongan UNSOED. Kami banyak bercerita tentang pendakian dan masalah kampus
masing-masing.
Aku
berpikir, kalau saja bisa didekat perapian terus, pasti tubuh ini akan hangat terus.
HAHA. Tetapi sayang, kalau tidak tidur, kondisi ketika akan melihat fajar
terbit tidak akan fit. Walhasil, skitar pukul 21.30 WIB ak masuk ke tenda dan
menyiapkan sleeping bag untuk tidur.
Entah
sekitar jam berapa, mungkin saat tengah malam, aku terbangun oleh kebisikan di
malam dingin. Tidak jauh dari tenda kami, orang-orang melantunkan lagu
bersama-sama. Instrumennya gitar dan gendang. Aku sendiri heran, kok bisa
mereka bisa membawa barang berat seperti itu ke puncak gunung. Memang, di suhu
yang dingin dan di alam terbuka, sambil melihat bintang-bintang diatas langit,
enaknya melakukan hal-hal seperti itu, Mereka menghabiskan malam bersama,
bernyanyi, bercerita, tertawa. Disatu sisi itu mungkin bisa membuat tubuh
mereka hangat.
Aku
memutuskan untuk tidur kembali. Pukul 04.00 Wib, aku terbangun lagi.
Suara-suara nyanyian sudah tak terdengar lagi. Suara tersebut diganti
orang-orang yang berteriak, mungkin fajar telah datang. Aku langsung keluar
dari tenda. Sayangnya, malam masih tettap malam, walaupun saat itu sudah dini
hari. Warna fajar keemasan belum tampak di ufuk timur. Udara semakin terasa
dingin. Ak bangun saat itu karena sempat ada yang bilang, kalau fajar akan
merona di waktu tersebut. Seketika langsung, aku kembali kedalam tenda dan
tidur lagi.
Waktu
tertidur, aku dibangunkan oleh suara yang menyuruh kami untuk bangun. Saat itu
tepat pukul 04.30 WIB, 30 menit setelah aku terbangun sebelumnya. Wah itu pasti
rombongan UNSOED yang berbaik hati membangunkan kami. Aku keluar dari tenda,
teman-teman rombonganku juga. Langit diatas
kami masih sedikit gelap. Tetapi, kaki langit dibagian timur lain. Ia memperlihatkan
suatu garis horizontal keemasan dan kemerahan. Saat itu matahari belum tampak.
Matahari masih dibawah bumi kami tempat berpijak. Angin pun sudah sedikit
terkontrol seolah segan karena munculnya Sang Mentari. .
Beberapa
menit berlalu, fajar di ufuk timur kian muncul. Gunung Sindoro dan Gunung
Sumbing dibaliknya kian tampak pula. Angin bertiup agak kencang. Suhu udara
menusuk dua lapis jaket yang aku gunakan, tembus sampai ke tubuhku. Kedua
tanganku seakan mati rasa. Terpaksa aku menggunakan salonpas di kedua telapak
tanganku dan dipunggungku. Serta dua buah di leherku.
Orang-orang
ramai berkeliaran, bersahut-sahutan, gembira sepertinya. Aku dan teman-temanku
juga ikut merasakan kegembiraan itu. Pemandangan yang diberikan oleh sang
pencipta, tak ayal membuatku terpesona dan sadar diri. Kami menghabiskan waktu
di momen yang hanya sementara itu untuk mengabadikan gambar. Menciptakan suatu
potret siluet oleh Kamera SLR dan HP. Ketika
pukul 07.00, teman-teman sedang mempersiapkan masakan. Aku berjalan-jalan dan
bertemu dengan rombongan Abang-abang dari jurusanku. Langsung saja si
abang-abang itu menyuruh buat memotret mereka. Haaha. Tak mau berlama-lama
dengan mereka, aku langsung saja pamit untuk berjalan-jalan kembali.
Beberapa
menit kemudian, aku memutuskan untuk kembali ke tenda. Melihat kondisi.
Ternyata, teman-teman sedang bermain kartu, karena merasa kedinginan setelah
berjalan-jalan, aku langsung masuk saja ketenda.
Aku
terus memasak air untuk menyeduh kopi. Saat itu karena tidak ada gelas yang
bersih, dan malas untuk mencucinya, aku menggunakan botol kosong yang habis
kubagi dua dan kugunakanlah yang bawahnya sebagai gelas.
Setelah
menyeduh kopi, aku keluar dari tenda dan ingin untuk berjalan-jalan lagi. Saat
itu aku ingin melihat pemandangan menggunakan binocular, sayangnya barang itu
dipinjam oleh abang-abang jurusanku yang tadi ketemu. Ternyata mereka telah
menemukan tenda kami. Aku kemudian memutuskan untuk meminjam kamera SLR saja,
untuk berburu foto.
Sambil
membawa kamera, rokok ditangan dan kopi, aku lantas pergi mencari pemandangan yang
bagus, tak lain daripada gunung sindoro dan sumbing itu. Aku memutuskan untuk mencari angel yang pas
agar fotoku tampak bagus. Aku pergi kebukit sebelah dimana orang-orang banyak
berada disitu. Memang dari situ, tidak ada penghalang untuk melihat gunung-gunung
itu. Hanya awan saja yang sedikit menutupinya. Gunung-gunung itu terkesan
Topless, bak model-model porno yang menampakkan bagian atas tubuh atau
payudaranya, HAHA.
Setelah itu, aku Iqbal dan Arab berfoto-foto di
balik keagungan gunung-gunung itu. Beberapa menit kemudian, kami memutuskan
untuk kembali ke tenda.Saat itu makanan sudah siap. Kami makan secara papahare
–kalau orang sunda bilang- yaitu dengan menghamparkan makanan di atas wadah
yang panjang (biasanya daun pisanng), tapi kami kami menggunakan kertas nasi.
Nasi dan lauk dihamparkan ke atas wadah itu, terus kami makan bersama-sama.
Ibaratnya sepiring bersama.
0 komentar:
Posting Komentar