Brothers Cyril and Methodius bring Christianity to the Slavic peoples. (http://en.wikipedia.org/wiki/History_of_Christianity_of_the_Middle_Ages)
Ini adalah tulisanku yang sedikit berbau filsafat dan sejarah. Tulisan ini sebenarnya telah lama selesai. Karena beberapa minggu ini saya ingin mengaktifkan kembali blog saya, nah tulisan-tulisan yang sempat dihinggapi sarang laba di folder laptop saya, ingin saya publikasikan di blog ini. Toh.menulis dan mempublikasikan adalah bekerja untuk keabadian dan juga pekerjaan tuk menebarkan gagasan. Monggo dibaca secara seksama dan dikritik.
Dalam salah satu karya Jostein
Gaarder, Sophie’s Verden, yang
menceritakan sejarah filsafat, ia
membahas ihwal Abad Pertengahan -atau dalam arti miring sering disebut Zaman Kegelapan (400 M-1400 M)- dalam
satu bab penuh. Mungkin salah satu alasannya kenapa disebut Zaman Kegelapan di
eropa saat itu adalah berkembangnya aliran
filsafat-filsafat yang kemudian bisa dibilang bahwa, hanya satu filsafat yang
bertahan dan mendominasi saat itu, yaitu idealisme obyektif. Saya tidak akan
menjelaskan bagaimana munculnya filsafat itu beserta sejarah utuh filsafat itu.
Fokus saya hanya pada pertanyaan “kenapa
zaman itu disebut zaman kegelapan?”
Zaman kegelapan Eropa bisa
dibilang terhegemoni oleh doktrin filsafat idealisme, khususnya dalam aliran
idealisme obyektif. Dimana para penganut filsafat tersebut mengakui sesuatu
yang bukan materiil (benda). Secara hemat, bisa dibilang, mereka mengakui
adanya Tuhan yang tidak berwujud materi itu dan hal-hal seperti pikiran dan
jiwa.
Jika ditelaah mengenai pandangan
ini, sebenarnya beratus tahun yang lalu, Plato telah memformulakan pandangan
ini secara sistematis, dengan menganggap dunia yang kita lihat ini adalah bayangan dari dunia
“idea” yang abadi dan tidak nyata/berwujud atau materi.
Idealisme obyektif yang melanda masyarakat eropa ditambah lagi dengan semakin gencarnya doktrin-doktrin agama
dilakukan. Tak pelak, hubungan yang saling menguntungkan antara pandangan
filsafat idealisme dengan agama bisa bertahan lama.
Dengan lahirnya pandangan
Skolastisisme, -dimana salah satu dari
pandangan itu merupakan unsur dari filsafat aristoteles yang mengatakan “bahwa dunia kita merupakan suatu tingkatan
hirarki dari seluruh sistem hirarki dunia semesta- menjadi ikut menggelapkan
eropa pada zaman itu. Gereja
memiliki otoritas yang tinggi, orang-orang penganut monostisime dan kekuasaan
gereja saat itu dianggap sebagai wakil dari “Tuhan”. Efeknya, pemangku-pemangku
agama seperti pendeta, uskup dll dan otoritas gereja saat itu menjadi sangat
kuat. Sampai-sampai raja sendiri bisa tunduk dibawah mereka. Hal ini
membuat kebijakan-kebijakan pemerintah
secara tidak langsung di pengaruhi oleh otoritas gereja. Inilah yang menjadi
pertanda munculnya zaman kegelapan di eropa.
Victor Hugo dalam novel
populernya pada abad ke-19, Les
Miserables, mengkritik otoritas gereja tersebut. Krtikannya adalah mengenai
dampak otoritas gereja secara eksternal dan internal. Untuk ranah internal
sendiri, dia mempermasalahkan perlakuan “Kepala Biara” kepada biarawati saat
itu. Memang, Hugo hanya mengambil salah
satu Biara penganut ajaran Santo Benoit- yang terbilang keras- dalam novelnya. Tetapi, itu menjadi sebuah
gambaran bagaimana Kolotnya orang-orang didalam biara itu. Mereka terkungkung dalam biara itu,
seperti mempunyai dunianya sendiri.
Para Aktivis melakukan aksi untuk menolak kekerasan atas nama agama (http://www.jpnn.com/picture/watermark/20120215_070843/070843_859509_FPI_bubar_Fery.jpg) |
Situasi di Indonesia hari-hari
ini -menurut pendahuluan dalam buku Humanisme
dan Humaniora: Relevansinya Bagi Pendidikan- mirip dengan situasi Abad
Pertengahan. Menurut saya, kita bisa melihat aksi-aksi para penganut “ekstremis-radikal
Islam” seperti Front Pembela Islam (FPI). FPI, atas nama agama, telah melakukan
perlakuan-perlakuan yang dinilai tidak manusiawi. Hal itu senada dengan yang
diungkapkan Anggota DPR RI 2009-2014 Eddhie Prabowo- dalam Antaranews.(http://www.antaranews.com/berita/387113/fpi-brutal-dan-tak-manusiawi-kata-edhie-prabowo)
"Dalam pandangan saya, itu sudah keterlaluan, tidak
manusiawi. Ada ormas yang lakukan seperti itu, ya tidak boleh. Masak sudah
ditabrak, langsung ditarik lagi sampai meninggal. Ini bentuk kebrutalan yang
memang harus dihilangkan di muka bumi ini, negara kita," kata Edhie
Prabowo. Saat itu Eddhie Prabowo memang sedang mengkritik brutalitas FPI
menyusul aksi sweeping dan anarkis di
Sukorejo, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah.
Akhir kata, saya hanya ingin
berpendapat bahwa agama tidak seharusnya dinodai seperti itu. Agama seharusnya
membuat kita menjadi jernih dalam berpikir. Agama seharusnya tidak membuat kita
menjadi tidak humanis. Bukankah agama
sendiri yang mengajarkan kita tentang prinsip-prinsp kemanusiaan yang bersifat
universal ?
Sudah saatnya petinggi-petinggi
agama dan kita sendiri untuk menolak paham
radikalisme agama dan mengecam tindakan tak manusiawi yang mengatasnamakan agama.
0 komentar:
Posting Komentar