Catatan & Puisi

Fiksi

Alice adventure in Wonderland

Kemarin saya mengikuti kelas pengantar menulis fiksi. Kelas itu dilaksanakan oleh Impulse Jogja. Entah kenapa saya bisa datang, padahal besoknya ada ujian Matematika 2. Lagi pula, saya pikir, kelas itu gratis. Beda dengan kelas-kelas sebelumnya dimana disuruh bayar 15.000 (Harga kopi yang disediakan panitia).

Maka, 15.50, saya langsung tancap gas ke Kaliurang Km 5. Terus masuk ke gang disamping Dunkin Donuts. Saat itu kelas belum dimulai. Namun sudah ada sekitar 5 orang peserta. Wanita semua lagi. Saya langsung disuruh menandatangani form daftar hadir. Ternyata namaku sudah ada disana. Mufli dari UII. Pada hari senin memang aku sudah mendaftarkan diri untuk datang kelas itu.

Sang pemateri sudah ada, Namanya kalau tidak salah Atkhun, penulis blog dan sering menulis di media massa. Orangnya sepertinya keturunan tionghoa. Pria, tingginya mungkin seperti aku. Badannya kurang berisi. Umurnya sekitar 30an tahun. Gaya bicaranya juga terkesan sopan dan halus. Lantas ia langsung menanyakan masalah yang kita alami ketika menulis fiksi.

Saya sendiri yang pertama menjawab. Saya mengajukan persoalanku yaitu masalah deskripsi. Seperti detail-detail tempat dan latar belakang tempat. Pun soal penggambaran kondisi karakter dll. Kalau tulisan nonfiksi seperti berita feature sih gampang. Kita tinggal melihat si narasumber, dia menggunakan pakaian apa, seperti apa wujudnya, keadaan tempatnya (jika kita langsung mewawancarainya di rumahnya) dll. Ini, soal fiksi, bagaimana caranya membayangkan karakter atau detail tempatnya. Disitu saya pusing.

Contohnya persoalan Lily, dalam 2 tulisan fiksi yang saya coba-coba. Saya tidak memiliki pengetahuan untuk menggambarkan sosok Lily maupun tempat tinggalnya. DI tulisan sebelumnya, saya sedikit menjelaskan posisi rumah lily. Tapi itu masih terlalu general, terlalu umum. Seperti, "Dibelakang rumahnya ada bukit dan laut sesudahnya". Itu kan masih umum sekali. Penggambaran kota tempat tinggal Lily apa lagi. Belum lagi karakternya yang seperti apa, sifat, lahir tahun berapa dll. Belum lagi si bajak laut.

Memang dari awal, cerita soal Lily, muncul begitu saja. Langsung main tulis. Padahal, menurut si pemateri, dalam menulis fiksi kita sudah mesti mengetahui gambaran akhir dari cerita itu. Intinya, diawal, kita sudah harus menentukan akhir. Itulah yang dia namakan premis. Jadi, setelah kita mendapatkan ide cerita, kita jangan langsung membuka laptop dan menulis. Awalnya kita membuat premis (atau kalimat) yang menggambarkan seluruh bagian cerita. Kalau di skripsi ada yang namanya abstrak. Tapi kan terlalu panjang. Dia memberikan contoh kalau premis itu seperti kalimat pendek dibawah judul film ketika kita melihat poster film tersebut. Misalnya Fast Furios 7 dimana premisnya adalah "Vengeance Hits Home". Jadi inti dari cerita itu pasti adalah pembalasan dendam.

Jadi, sebelum kita mulai menulis, kita mesti menentukan mau kemana cerita itu diarahkan melalui premis itu. Lantas kalau persoalan deksripsi, saat kita menulis kita harus membayangkan diri kita sedang berbicara dengan orang buta. Misalnya kita mau menunjukan bahwa tempat yang sedang kita dan orang buta itu kunjungi adalah tempat yang bagus. Lantas, kita harus menjelaskan dan memastikan agar orang buta itu merasakan keindahan dan nyamannya suasana di tempat itu. Hal itu dinamakan Show dont Tell.

Dan kita juga harus menghindari penggunaan kata sifat dalam penulisan fiksi. Seperti senang, marah, dll. Kita harus bisa menjelaskan dengan berbagai cara bahwa orang itu sedang senang. Misalnya, "Beberapa saat kemudian ia melebarkan senyumannya. Matanya mencipit. Tangannya bergetar sembari menggenggam kertas ujiannya. Ia kemudian lari dari depan pintu kelas dan meloncat meneriakan, 'Aku dapat nilai 100'". Begitu juga saat marah. Kita harus mendeskripsikan bagaimana ekspresi marahnya, tanpa perlu menyebutkan bahwa ia marah. Pokoknya basmi kata sifat.

Dan pada akhirnya, kita mesti tahu kenapa kita harus menulis fiksi. Apa karena ingin berbagi pengalaman, ingin berbagi pesan moral yang tersembunyi, dll.

Saya kemudian berpikir, ah susah juga menulis fiksi. Mending menulis nonfiksi yang sudah nyata-nyata ada dan tinggal kita improvisasi. Tinggal penggunaan diksi yang seperti fiksi. Apakah dengan gaya tulisan jurnalisme sastrawi atau model feature.

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog

Diberdayakan oleh Blogger.