Catatan: Perkenalkan. Saya adalah mahasiswa jelatah yang malam minggu kemarin ingin melihat Sidang Umum KM UII, tapi sayangnya dewan-dewan mahasiswa yang begitu terhormat sampai ke langit 7 -pun yang begitu menggebu-gebu saat kampanye- ternyata tidak kuorum dan kemudian menelantarkan saya di SCC. Untung ada makanan gratis, alhasil saya makan terus pulang deh, lalu saya nonton Champions deh, hahaha)
Akhir-akhir ini, seperti yang kawan-kawan ketahui, kita sedang melakukan hajatan bersama tiap tahun. Dimana hajatan tersebut kita posisikan sebagai forum musyawarah tertinggi suatu organisasi besar mahasiswa bernama: Keluarga Mahasiswa UII. Forum tersebut kita sepakati bernama Sidang Umum KM UII yang nantinya akan menghasilkan Ketetapan SU KM UII.
Saya rasa tak perlu lah untuk menjelaskan secara detail apa
isi dari Ketetapan SU KM UII tersebut, kawan-kawan pastinya lebih paham
daripada saya, terlebih lagi bagi kawan-kawan Hukum yang tiap hari bercengkrama
dengan pasal-pasal, aturan, tata hukum, dll.
Saya sendiri tidak begitu tertarik dalam membahas pasal-pasal
dalam Peraturan Dasar KM UII yang selama ini kita debatkan bersama. Seperti
contohnya delegatoris –mandataris, persoalan redaksi pasal, dll, yang bagi saya
itu penting, tapi sekaligus juga tidak penting untuk ditulis disini.
Kenapa saya sebut penting? Karena tiap pasal dan aturan atau
produk hukum dituntut untuk tidak membuat pemahaman yang berbeda (multitafsir).
Pun, agar para pelaksana hukum tersebut (mahasiswa, lembaga kemahasiswaan) bisa
sepemahaman. Kalau kata Bung Fuad (Ketua DPM U periode 2012-2013), “Kita ini harus
Satu Frame!”.
Selanjutnya, kenapa menjadi tidak penting? Karena saya rasa kita
semua terlalu terlena dengan pembahasan tersebut, terlalu asik berdebat soal “kata
per kata”, terlalu asik berdialektika terkait penggunaan tata Bahasa, sehingga
forum musyawarah yang “super-duper” tinggi tersebut menjadi forum yang saya
sebut sebagai: Forum Perdebatan antar “Guru Bahasa Indonesia”. Dimana guru Bahasa
itu adalah kita semua, aktivis mahasiswa UII yang memiliki daya intelektualitas
yang, mengutip salah satu percakapan dalam film Toy Stories, “Menuju tak
terbatas dan melampauinya”. (Kawan-kawan semua saya anjurkan untuk menonton
film kartun itu, biar urat syarafnya -sehabis kita menunggu Peserta atau
peninjau SU yang tak kunjung kuorum- kendor)
Ya, ya, ya, kita serius tapi santai ya. Saya tidak ingin
menulis dengan gaya yang terlalu ilmiah bin saintifik. Anggaplah seolah-olah
saya sedang berada di depan kawan-kawan semua dan kemudian menceritakan isi
tulisan ini. Itu semua saya lakukan biar kita lebih, mengutip pernyataan kawan
saya Arifin Agus Setiawan, “Intim beud
dah”.
Oke lanjut. Begini kawan-kawan yang berbahagia, saya resah
ketika kawan-kawan terus melakukan perang urat syaraf terkait “tata Bahasa”
tersebut, tanpa mempertimbangkan konsekuensi logis kedepan bagi KM UII soal perubahan
atas “kata per kata tersebut”. Seperti halnya delegatoris-mandataris LEM U,
saya rasa itu persoalan yang mana yang cocok saja. Pertanyaannya adalah apakah
dengan dijadikan Mandataris, Ketua LEM U bersama fungsionarisnya bisa mengatasi
persoalan-persoalan mendasar yang dialami mahasiswa saat ini (mahasiswa apatis,
kurang kritis, pragmatis, dll)? Atau, apakah LEM U bisa membuat suatu gerakan intelektual
massa dalam mengawal isu-isu kerakyatan diluar sana? Saya rasa tidak demikian.
Maka dari pada itu, saya menganjurkan bagi kawan-kawan untuk
menanggalkan diri sebagai “Guru Bahasa Indonesia” dan menjadi seorang, meminjam
istilah Gramsci, “Intelektual Organik” dalam melakukan gerakan penyadaran kelas
mahasiswa dimana mahasiswa UII saat ini ditindas secara sistemik dan
terbelenggu dalam realiatas “intelektual” yang begitu ilusif (example, sibuk
akan dunia akademiknya).
Saya rasa kawan-kawan aktivis mahasiswa lebih paham dari
saya soal realitas kemahasiswaan UII akhir-akhir ini. Atau jangan-jangan,
kawan-kawan aktivis mahasiswa sendiri yang justru terjebak dalam “ilusi intelektual”
tersebut? Persoalan klasik tersebut saya rasa perlu dibedah secara seksama.
Mungkin kawan-kawan bisa bermeditasi di gunung api purba Ngalenggeran
(Muncaknya di hari-hari biasa, pasti sepi). Atau dengan cara kawan-kawan
sendiri.
Peta Kekuatan Politik Legislatif di tingkat Universitas
Agaknya menulis hal yang kekinian akan mengasyikan. Saya
terinspirasi tulisan-tulisan di media masa menjelang Pemilu 2014 tahun lalu
terkait kekuatan politik masing-masing partai dll. Lantas bagaimana dengan peta
kekuatan politik legislative UII saat ini? Mari membahas!
Berbicara soal partai, memang di UII tidak mengadopsi sistem
multi partai, tapi lebih kearah perwakilan dari masing-masing fakultas atau
pada tataran Fakultas yaitu perwakilan masing-masing jurusan. Sebenarnya secara
tidak langsung sudah ada berbagai kekuatan politik tersebut. Ketika membagi
kekuatan politik itu dengan keterwakilan tiap fakultas, itu sudah bisa secara
langsung ditebak. Tapi disini saya coba menjabarkan kekuatan-kekuatan politik
versi saya dari pengamatan belaka.
Paling tidak dalam beberapa kali SU yang sudah dilakukan dan
pernah saya ikuti, kubu-kubu disini terbagi menjadi: Kubu legislative yang
merupakan kader murni organisasi internal ( HMJ, Mapala, dll) dan kubu legislative
yang merupakan kader organisasi internal sekaligus juga kader organisasi
eksternal. Untuk kubu yang kedua ini, sejauh pengamatan saya, diisi oleh
kader-kader “gerakan eksternal bersejarah” bernama Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI). Peta politik ini memang subjektifitas dari latar belakang dan pengalaman
penulis belaka, maka dari itu kawan-kawan semua berhak menganalisisnya secara
pribadi maupun secara organisasi. Saya siap menerima kritik atas pembacaan peta
politik tersebut.
Dari pengalaman saya, Kubu 1 selalu vis a vis dengan kubu 2 (Ya iyalah, namanya juga kubu). Saya juga
masih belum memiliki penjelasan materialisme
historis yang lengkap dari pertentangan akan 2 kubu ini, Paling tidak ada
beberapa kondisi material (sebab) yang mengakibatkannya. Salah satu penyebabnya
tidak lain dan tidak bukan adalah: Kultur FTSP yang “anti” akan organisasi
eksternal.
Saya rasa, dari perspektif saya sebagai mahasiswa FTSP, doktrin
itu sangat terasa dan terus menerus direproduksi tiap tahun tanpa mencoba
menganalisa kembali doktrin tersebut. Saya rasa bukti konkrit ke”anti-an” itu terwujud
dalam kasus pengambilan plang HMI Komisariat FTSP oleh beberapa mahasiswa FTSP.
(Sampai sekarang saya belum tahu hasilnya seperti apa dari konflik tersebut)
Dari perspektif HMI? Saya kurang tahu. Soal ini izinkan saya
sedikit berspekulasi: Kader HMI juga anti, atau Bahasa halusnya, “waspada”
terhadap mahasiswa FTSP.
Pada intinya, kedua kubu tersebut saling mewaspadai satu
sama lainnya. Saya rasa beda pendapat tidak menjadi persoalan dalam
berorganisasi, pun saling mewaspadai terhadap manuver masing-masing kubu juga
tidak bermasalah. Akan tetapi, ini yang paling krusial dan menjadi pertanyaan,
jangan-jangan pertikaian yang terjadi antara kedua kubu ini murni karena “anti”
semata?
Pertanyaan itulah yang seharusnya kita jawab dengan
hati-hati dan seksama. Saya meyakini bahwa ketika logika yang dibangun
masing-masing kubu tersebut seperti itu, niscaya KM UII tinggal menunggu kapan
nantinya ia dikubur. Namun, perlu dicamkan, pertikaian ini, atau perdebatan
tersebut saya rasa tidak semata-mata tertuju pada kedua Kubu tersebut. Tetapi
tertuju bagi semua elemen aktivis mahasiswa UII, seluruh lembaga kemahasiswaan
yang ada di UII.
Menyatukan Elemen Gerakan Mahasiswa UII
Saya rasa kita perlu menghilangkan kata “anti sesama lembaga
kemahasiswaan” dan berfikir untuk masa depan KM UII. Perdebatan kita seharusnya
lebih mengarah ketataran ideologis nan intelektualis, bukan perdebatan karena “anti”
satu sama lain, ataupun perdebatan “Guru Bahasa Indonesia” seperti yang saya
sebutkan di awal.
Saya menganjurkan kepada kawan-kawan yang selama ini
berhadap-hadapan, berkubu-kubuan, untuk duduk bersama (tidak hanya pada saat SU
ataupun undangan DPM U nantinya, atau segala urusan formil belaka). Banyak
tempat ngopi dan nongkrong di Jogja ini bro/sis, manfaatkanlah! (atau tidak
buat makrab. Catatan: seharusnya legislative U perwakilan FTSP bisa menginisiasi
makrab tersebut)
Saya juga
menganjurkan kepada kawan-kawan dari segala elemen lembaga, setelah SU nanti
untuk melakukan pembacaan bersama terkait problem-problem klasik maupun new saat ini. Kita juga mencoba
menganalisa persoalan sistemik yang membelenggu mahasiswa UII saat ini. DPM U
ataupun LEM U bisa menjadi inisiator untuk ngopi bareng. Tak lupa pula,
organisasi eksternal yang ada di UII diajak juga. Toh, mereka mahasiswa UII
juga kan?
Saya rasa dengan duduk bersama kita tidak ada kesan saling
menunggangi satu sama lainnya. Diskusi dan duduk bersama, meminjam istilah
kawan saya, Novri Sihite (Kordinator GMNI FH UII), adalah “murni membawa
semangat rasionalitas”.
Terakhir, meminjam judul tulisan Eko Prasetyo (Aktivis SMI)
dalam bulletin Kokob Himmah –kalau judulnya tidak salah-, “Bangkitlah Kampus
UII !”
Tabik. Hidup Mahasiswa, Hidup Rakyat !
Asiik.. Ini tulisan renyah yang menggigit dan mnggugah selera! mantaps masbro!
BalasHapusHaha yoi bro
BalasHapusWooow.. Ada 2 kubu? Internal dan eksternal? Menarik broo.. Apa ada udang di balik badan organisasi eksternal sampai ngebet banget di SU KM UII? Bukan selayaknya SU KM UII ini dari dan untuk mahasiswa UII? Terlepas dia mahasiswa UII atau bukan ya seharusnya ketika berpikir untuk KM UII ya monggo dilepas embel embel eksternal nya. Meskipun sejarah menulis HMI lahir dan tumbuh di UII. Terus njuk ngopo? Hehehe.. Anyway tulisan yang manis tur nyereti..
BalasHapusSuwun mas bro
BalasHapusBerharap tulisan ringan2 nakal gini ada di uii eh akhirnya datang juga.
BalasHapusBtw, kayaknya biar gak selek setiap sebelom su perlu diadain outbond dulu. Biar kompak. Jadi pesertanya gak asal njeplak dan anti2an. Kalo kata iqbal semalam, "Su Uii itu tempatnya orang goblok, ngomongin hal2 goblok, tapi kok ga ada yg ketawa" hahaha
Ditunggu post2 lanjutnya bro ;D
Wkwkw... yoi masbro... sampean nulis opini juga,, yg lebih menggelitik..tapi ttap kritis.. hihihi
HapusCocok bero... sudah selayaknya ada forum yang untuk berdialog antara dua kubu tersebut diatas. Apalagi saat ini UII selalu dikaitkan dgn HMI kan kasian mahasiswa yang kontra dgn HMI. Ada yg wawancara kerja karena lulusan UII ditanya kader HMI atau bukan jawabnya iya padahal tidak akhirnya ketahuan bohong kan kasian. Semoga dengan dialog pernyataan diatas bisa terjawab dan gak ada kubu lagi...
BalasHapusHarus ada memang yg menginisiasi,,, ak rasa mksud tulisan ini juga demikian.. hha
HapusTulisan satire yang menggelitik dengan bahasa kekinian ala-ala mojok :D, budaya menulis yang harus ditularkan kepada mahasiswa lain agar bisa kritis namun tidak pragmatis.
BalasHapusCan't agree more with you untuk tulisannya. Organisasi internal berjalan lambat, minim kaderisasi tanpa arah dan konsep yang jelas kecuali sibuk pada tataran kepanitiaan (penyambutan mahasiswa baru dan turnamen olahraga). Sementara itu sebagian mahasiswa lain yang cukup terbuka pikirannya (melalui diskusi dengan mentor di organisasi eksternal) memanfaatkan peluang ini untuk bisa lebih eksis lagi menyebarkan ideologinya di dalam kampus. Jika sejenak mengesampingkan ego golongan, tentu KM UII bisa lebih memberikan dampak positif terhadap pergerakan mahasiswa.
Izin bookmark, ditunggu lagi tulisan yang lainnya
Hha.. nuwun mas awal,, dari dulu ak ingin skali berdiskusi dgn mas soal lingkungan maupun organisasi..
Hapuskok bisa sampe dikata "anti"? pengambilan plang bisa jadi bukan karna "anti" broottt hahaha.. berpikir positif aja laah~ terus HMI itu organisasi besar ga cuma ada di UII, jadi kalo HMI sampe "anti-anti" kaya yang dibilang itu kaya nya ga mungkin deh.. kayak nya ga penting juga kalo organisasi besar sampe "anti" sama internal kampus -_-
BalasHapusperlu klarifikasi,, itu spekulasi saja
HapusBanyak bacot
HapusIni pada ngomongin apa sih
BalasHapus