The Critique oleh Sandra Taylor-Hedges |
*) Tulisan ini pernah dimuat di Buletin Landscape -garapan LPM SOLID FTSP UII- edisi Mei 2015. Dipublikasikan disini kembali untuk tujuan -entahlah- pendidikan? (Hahaha) dan mungkin untuk mengisi kekosongan blog yang sudah usang tak pernah di-isi ini.
Saat
minggu malam di tahun 1795 Jean Valljean
memutuskan diri untuk memecahkan kaca
toko roti. Ia kemudian mengambil sepotong roti dan segera lari dengan kecepatan
penuh. Pemilik toko roti, Maubert Isabeau menyadari dan segera menghentikannya.
Namun, entah karena merasa berdosa, Valjean kemudian melemparkan roti tersebut.
Dia tidak jadi memberikan sepotong roti itu kepada keluarganya.
Tetapi,
apa daya Valjean, laku pencurian dan memasuki rumah berpenghuni tanpa izin
tersebut membuatnya mendekam di atas kapal tahanan. Ia menjalani 5 tahun masa
hukuman.
Tokoh
sentral dalam novel Les Miserables karya Victor Hugo tersebut akhirnya menjalani kehidupan di pengasingan
dengan hukuman yang tidak pantas. Di atas perairan yang entah dimana, manusia
justru menjadi lebih brutal: Sipir penjara
bebas menghantam narapidana; Valjean-seorang tukang kebun yang tidak
berbahaya dari Faverolles- kemudian menjadi binatang yang buas dengan melakukan
percobaan melarikan diri.
Didalam
kegelapan, kesendirian, nestapa, dan kemalangan, Valjean getir. Pada titik itu
juga ia berani menabuh genderang perang pada setiap subjek yang memiliki andil
dalam memantapkan kesengsaraannya. Ia kemudian memposisikan dirinya sebagai
objek.
Masyarakat
lantas dihujat dan dikutuk. Hukum pun dilaknat. Tuhan pun tak luput dari amarah
sang "pencuri sepotong roti" tersebut.
Pemikiran
Valjean tak ubahnya realitas dalam pikiran manusia jikala ia mendapatkan segala
laku destruktif dari penguasa melalui sistem yang dijalankan mereka, yang
kemudian memunculkan ketidakadilan.
Melihat
Valjean sama halnya ketika kita melihat diri kita dalam cermin. Pada suatu saat yang sudah jelas berbeda
dari kondisi dalam kisah Valjean tersebut, kita pastinya sering menghujat
masyarakat, mengutuk pemerintah yang bobrok bahkan melayangkan pertanyaan dalam
hati, "Dimanakah Tuhan selama ini?." Pun, mengangkat senjata kepada
setiap subyek yang turut andil dalam memantapkan kesengsaraan, ketertindasan,
ketidakadilan, dan kesewenang-wenangan, yang kita alami. Sikap tersebut kemudian
saya sebut sebagai daya kritik atau sikap berpikir kritis manusia. Karena,
dalam kasus Valjean, ia berani menerabas segala macam dogma yang hadir saat
itu.
Daya
kritis manusia tersebut, terlepas dari kondisi hidupnya, saya kira adalah tanda
eksistensi manusia. Jika Rene Descartes-filsuf Perancis- pernah mengajukan
preposisi filosofis "Je pense, donc je suis" atau "Aku berpikir maka Aku ada", saya
sendiri berani mengajukan satu preposisi yang entah filosofis atau bukan, berbunyi "Aku berpikir kritis, maka aku
ada".
Namun,
dibalik daya kritis yang kadang kala muncul bagi setiap orang tersebut, apakah
daya kritis tersebut bersifat emansipatoris (baca: membebaskan) sehingga
menimbulkan langkah praksis untuk mengubah keadaan? Atau gampangnya, apakah daya
kritis tersebut masih satu tarikan nafas dengan daya perombakan total atas
status quo tersebut?
Tatkala
segala daya kritis, umpatan, serta hujatan kepada penguasa dan sistem yang
menindas hanya sekedar ekspresi emosional, maka daya kritis tak ubahnya sinisme
belaka. Daya kritis hanya menjadi laku
nyinyir yang berujung pada suatu kenihilan tak tentu arah.
Berkaitan
dengan kritik dan emansipasi, Martin Suryajaya -seorang Marxis ortodoks di
Indonesia- dalam tulisannya Kritik dan Emansipasi: Kontribusi bagi Pendasaran
Epistemologi Kiri mengungkapkan bahwasanya emansipasi telah lama dikaitkan
dengan sikap kritis.
Ia
berpendapat bahwasanya selama emansipasi dipandang sebagai pembebasan individu
dari totalitas kolektif dan sikap kritis yang berarti berjarak terhadap daya
kritis untuk melakukan perubahan, maka ,"Kita sebetulnya berbicara tentang
kebalikannya: pembelengguan dan dogmatisme."
Martin
melalui tulisan itu hendak mengkritik sosok Goenawan Mohamad yang dalam
tulisan-tulisannya membawa semangat etika kedhaifan (baca: keterhinggaan) yang
justru dianggap Martin sebagai, "Pembebasan yang berhenti sebelum
dimulai."
Lantas,
bagaimana dengan laku kritis nyinyir kita? Apakah layak disamakan dengan etika
kedhaifan yang dianggap sebagai "pembebasan yang berhenti sebelum dimulai?" (meskipun kritik Martin terhadap Goenawan Mohamad patut kita tinjau
kembali).
Saya
rasa laku kritis nyinyir tersebut belum pantas disebut daya kritis. Dengan laku
kritis nyinyir tersebut, kita belum memulai apa-apa. Bahkan, niatan untuk melakukan
perombakan terhadap status quo pun tak ada dalam benak kita. Gampangnya, sikap
kritis pun belum kita mulai.
Ekspresi emosional melalui
hujatan, umpatan, dan kejengkelan terhadap status quo, saya pikir belum bijak
disebut daya kritis. Daya kritis membutuhkan
laku destruksi kreatif yang murni membawa semangat rasionalitas. Dari daya
kritis tersebut, kita diharapkan memperoleh suatu rumusan ilmiah dan argumentasi yang tidak
buram, yang pada nantinya membawa kita pada sikap emansipasi. Akan tetapi, dibalik
semua itu, pada akhirnya, laku kritis nyinyir tersebut juga dibutuhkan untuk
memberikan hiburan dikala rasionalitas begitu memuakkan dan cenderung
bertele-tele.
0 komentar:
Posting Komentar