Catatan & Puisi

Kelas Impulse Jogja

Kelas Impulse di Anomie Coffee (sumber Facebook Impulse Jogja)

Ruang-yang sepertinya garasi- itu luasnya kurang lebih 4x4 meter. Ada 3 meja kayu persegi dan 1 meja bundar. Di belakang kertas tulis itu ada gerobak yang isinya berbagai macam jenis kopi. Diatas meja bundar itu terdapat alat penyeduh kopi. Dinding dibelakang kami dihiasi dengan semacam wallpaper sepeda kuno dan beberapa dedaunan. Ruang itu dinamakan Anomie Coffee.

Impulse memang berhasil menyulap garasi itu menjadi sebuah kelas sekaligus kafe-dengan gerobak kopi tersebut. Dua hari ini aku dan kawan-kawan LPM Solid bertandang ke institut yang mengkaji tentang multikuluralisme dan pluralisme ini. Kemarin kami membahas tentang Kritik Ideologi dan tadi pagi membahas tentang Orde baru; Uniformisasi dan pembangunan. Adalah Dr. Gutomo P. yang memberikan materi terakait tema tersebut. Ia adalah Direktur Impulse dan aktif menulis tentang filsafat, antropologi dan pernah melakukan kajian khususnya antropologi pedesaan. Ia juga pecinta kopi.

Kelas yang kemarin, aku datang telat dan tidak sempat menyimak pengantar tentang teori kritik. Jadinya aku a-historis terkait dengan teori tersebut. Saat aku datang, penjelasan telah mengarah ke kapitalisme, sosialisme dan komunisme. Dari kelas tersebut aku mendapatkan satu pengetahuan baru tentang kritik ideologi. Ternyata kapitalisme, sosialisme, maupun komunisme yang selama ini aku anggap ideologi-karena ada ismenya- adalah bukan ideologi.

Mereka itu adalah suatu cara produksi. Kalau komunis cara produksinya adalah secara bersama, sedangkan kapitalis cara produksinya hanya segelintir orang saja. Sebagiannya aku lupa. Hahaha
Nanti coba aku ingat-ingat lagi.

Hari kedua kami membahas tentang Orde Baru, Pembahasan lebih mengarah ke permasalahan pembangunan-isme dan unformisme. Seperti yang diketahui, setelah Soekarno lengser, Soeharto belajar dari beberapa kegagalan Soekarno soal ekonomi. Soekarno terlalu mengenyampingkan permasalahan ekonomi dan terlalu sibuk dengan gerakan politiknya, Akibatnya harga beras melambung sampai 300%.



Saat Soeharto menjabat ia punya strategi mobilisasi disegala lini untuk mewujudkan apa yang disebut Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) dan Pelita (Pembangunan Lima Tahun). Mobilisasi pertama Soeharto dari segi struktur pemerintahan. Dengan dalih mudah mengontrol, pejabat-pejabat setingkat menteri, gubernur, walikota, sampai camat dan lurah-katanya-diisi oleh militer dan kalangan terdekat Soeharto.

Selanjutnya, mobilisasi disisir di ranah infrasruktrur pendukung pembangunan pangan. Produktifitas pertanian digenjot. Karena lahan cenderung tidak berambah, salah satu elemen produktifitas-yaitu penggunaan alat modern dan pupuk modern-diterapkan. Alhasil terjadi revoulsi hijau. Petani pun dipaksa menggunakan alat-alat canggih buatan asing tersebut.

Setelah itu mobilisasi dilancarkan dengan sistem industri pengganti. Modal-modal asing mulai ditanamkan di Indonesia. Alat elektronik, mobil jepang, dll mulai masuk.

Soal mobilisasi mungkin hanya itu yang sedikit aku ingat dari penyampaian pemateri, memang tidak komprehensif karena kekurangan data-data dan teori-teori yang mendukung. Maklum, aku menulisnya layaknya menulis dear diary. Hahaha

Selanjutnya terkait uniformisme. Uniformisme adalah salah satu bentuk penyeragaman. Di jaman Soeharto mungkin kita pernah membaca terkait penyeragaman penanaman padi di seluruh daerah untuk mendukung Pelita Soeharto. Hal itu berdampak kepada kearifan lokal setempat. Contoh kasus Kalimantan yang cenderung dipaksakan. Padahal tanahnya tidak cocok untuk ditamani padi. Walhasil lingkungan sekitar rusak. Ada juga cara-cara tradisional yang bersifat local knowledge tersebut tergerus oleh rasionalisasi modernitas jaman Orba. Beberapa kebudayaan juga tergerus. Soeharto bertujuan untuk membangun suatu identitas nasional, yang berdampak negatif terhadap kearifan lokal daerah setempat.

Bentuk uniformisme yang lain adalah upaya mengkonstruksi pola pikir masyarakat melalui media. Salah duanya dengan TVRI dan RRI. Acara-acara yang bersifat "mbangun deso" dengan selalu memperlihatkan panen raya ditampilkan sering. Itu semua agar terbangunnya logika yang diinginkan Soeharto terhadap masyarakat. Upaya uniformisme lain adalah dengan simbol-simbol. Kita bisa melihat dijaman Orde Baru, terutama di desa-desa, berbagai monumen bertuliskan Swasembada dan 17 Agustus, berdiri. Terus terkait cat pagar warga desa yang umumnya kuning- merepresentasikan kendaraan politik Soeharto (Partai Golkar).

Namun, akhir kata, kelebihan Soeharto adalah dengan stabilitas nasional yang terjaga. Pernah mencapai Swasembada, meskipun korbannya adalah petani.

 

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog

Diberdayakan oleh Blogger.