"Tolak BBM" (Foto: http://www.harianterbit.com/imagebank/gallery/large/20141109_125553_bbm%20naik.jpg) |
Pada
akhir masa-masa pemerintahan SBY, kita sudah diteror dengan wacana kenaikan
BBM. Saat itu kita bisa melihat wacana tersebut kerap dicampuradukan dengan
berbagai kepentingan politis para penguasa. Media yang kebanyakan berpihak
kepada Jokowi- dimana Jokowi saat itu tinggal menunggu pelantikannya-, tiap
harinya, kerap menggiring opini publik akan keharusan SBY untuk menaikkan BBM.
Akan
tetapi, berita maupun opini yang
diterbitkan dalam media tersebut seperti “masuk telinga kanan, dan keluar
telinga kiri” bagi rezim SBY. Walhasil, atas (mungkin) keinginan agar tidak
merusak citra di akhir-akhir pemerintahannya, SBY malahan mewariskan “beban”
itu kepada pemerintahan presiden baru Jokowi.
Setelah
beberapa minggu (medio akhir Oktober dan awal November) semenjak euforia pesta
rakyat menghegemoni bumi Indonesia, masyarakat kembali diteror dengan wacana
“anti-klimaks” di akhir rezim SBY: Kenaikan Harga BBM dengan mengurangi subsidi
BBM. Beberapa simpatisan Jokowi kemudian ada yang kecewa dan beberapa
simpatisan Prabowo- lawan tunggal Jokowi dalam Pilpres- kemudian mengutuk rezim
Jokowi.
Yang
menjadi pertanyaan mendasar, jika menilik situasi yang terjadi diatas dan
framing media-media korporasi besar-dimana beberapa media cenderung membela
kebijkan kenaikan BBM semenjak akhir masa SBY- yaitu apakah kebijakan kenaikan
BBM atau pengurangan subsidi BBM sudah tak terelakkan lagi?
Pertama-tama
sebelum menjawab pertanyaan diatas, kita perlu melihat alasan utama Jokowi
mengurangi subsidi BBM. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kebijakan Jokowi
mengurangi subsidi BBM tersebut bertujuan agar alokasi dana dari sektor
konsumtif bisa beralih ke sektor produktif yang nantinya akan memberikan dampak
positif bagi APBN. Dan nantinya juga akan memudahkan pemerintahan Jokowi atas
slogan yang kerap kali dia utarakan: Kerja, Kerja, Kerja!
Alasan-alasan
diatas, menurut hemat saya, adalah rasionalisasi keliru, pragmatis, dan terkesan
jauh dari kata “rasional” itu sendiri. Alasan mengurangi subsidi BBM untuk
mengalihkan kebiasaan konsumtif masyarakat tuk menjadi produktif merupakan tindakan
salah kaprah dan tidak seharusnya dilakukan. Pemerintah dalam hal ini seakan
cenderung menyalahkan masyarakat akan perilaku konsumerisme BBM oleh
masyarakat. Kebijakan mengurangi subsisdi BBM oleh pemerintah Jokowi adalah
jalan pintas dan cenderung lari dari permasalahan utama: Bagaimana
mendistribusikan subsidi BBM secara tepat sasaran, bagaimana membatasi konsumsi masyarakat akan kendaraan
bermotor, dan bagaimana membangun suatu transportasi darat massal yang sistematis, terstruktur dan
massif.
Saat ini kita sudah tidak asing lagi
mendengar bahwasanya pemerintah sampai saat ini, belum memiliki strategi yang
handal agar BBM bersubsidi bisa tepat sasaran. BBM kerap kali dinikmati oleh
masyarakat kelas menengah keatas. Pemerintah, untuk saat ini, terkesan tidak mempedulikan
lagi, apakah BBM bersubsidi tepat sasaran atau tidak. Pemerintah cenderung
menyamaratakan seluruh masyarakat, seakan tidak ada kelas sosial didalam
masyarakat Indonesia ini. Walhasil, lagi-lagi, atas penyamarataan itu,
masyarakat kelas bawah yang kena imbasnya. Nelayan, buruh, petani, buruh tani,
sopir, pengusaha ekonomi kelas bawah, dll menjadi tumbal atas kebijakan Jokowi
menaikan harga BBM tersebut.
Disamping permasalahan BBM bersubsidi yang
tidak tepat sasaran, kita perlu melihat bagaimana konsumerisme masyarakat
terkait kendaraan bermotor, dimana nantinya sangat berdampak pada penggunaan
BBM. Kendaraan bermotor seperti mobil, motor dll memang merupakan salah satu
penopang kegiatan ekonomi antar kelas
masyarakat. BBM digunakan masyarakat untuk melakukan hal-hal yang produktif
seperti pergi bekerja, mencari nafkah, nelayan yang melaut dan masih banyak
lagi. Hal itu sama seperti yang tertuang dalam tulisan M.Zakki Husein di media
Indoprogress dengan judul “Rezim Jokowi-JK dan
Alasan Basi Konsumsi BBM” :
“Lalu, digunakan untuk apa sepeda motor ini oleh para
penggunanya? Kebanyakan adalah untuk kegiatan-kegiatan pencarian nafkah dan
pemeliharaan keluarga, seperti bekerja, mengantar anak sekolah, belanja
kebutuhan pokok, dan lain-lain. Kegiatan-kegiatan ini berkontribusi dalam
pembangunan ekonomi, karena kegiatan-kegiatan inilah yang memungkinkan
tenaga-kerja untuk berproduksi dan mereproduksi dirinya.Tanpa adanya konsumsi
BBM oleh pekerja untuk pergi ke tempat kerja, kegiatan produktif di tempat
kerja menjadi tidak dimungkinkan. Tanpa adanya konsumsi BBM untuk mengantar
anak sekolah, proses pembentukan tenaga-kerja di masa depan bisa terganggu.
Tanpa adanya konsumsi BBM untuk pergi belanja ke pasar, pemulihan tenaga-kerja
setelah energi keluar saat bekerja bisa terganggu.”
Dari
tulisan tersebut, argumen mendasar Jokowi mengenai BBM yang merupakan sektor konsumtif
bisa mudah terpatahkan. Tapi, bukan berarti, dengan tulisan Bung M Zakki Husein
itu kita menjadi tidak kritis terhadap kendaraan pribadi yang terus meningkat
tiap-tahunnya. Tulisan Bung Zakki tersebut hanya membuktikan bahwa argumen
Jokowi menaikkan harga BBM adalah tidak rasional.
Kendaraan
pribadi yang melonjak tiap tahun sendiri adalah bom waktu bagi beberapa sektor
produktif masyarakat. Salah satu sektor yang terasa dampaknya adalah pada
sektor Angkutan Umum Darat atau biasanya bis perkotaan.
Dizaman
yang edan ini, kita bisa menyaksikan betapa mudahnya masyarakat mendapatkan motor dan mobil. Para
pemilik korporasi dan produsen motor maupun mobil lebih-lebihnya menawarkan
berbagai sistem kredit, dimana masyarakat bisa langsung mendapatkan kendaraan bermotor
dengan biaya awal paling miring. Bahkan, pemerintah sendiri, malah mempromosikan mobil murah- teknologi
yang sangat kontradiksi dalam upaya
mengurangi pola konsumerisme BBM. Lagi-lagi, pemerintah Jokowi belum
membuktikan kerja yang nyata terkait permasalahan utama ini. Disini kita wajib
mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam membatasi dan mengurangi kendaraan bermotor.
Disatu sisi yang lain, pertanyaan terkait keseriusan pemerintah dalam sektor transportasi
darat massal patutnya tidak dilupakan. Alasan pemerintah Jokowi mengurangi subsidi
BBM untuk mengurangi masyarakat dalam
membeli kendaraan bermotor adalah alasan yang tidak masuk akal. Konsumerisme
masyarakat akan kendaraan bermotor dan BBM tidak akan menurun, sebelum
pemerintah memperbaiki sektor transportasi darat massal seperti angkutan umum.
Dewasa
ini kita dapat melihat bagaimana angkutan massal darat, khususnya di DIY, saat ini mulai tergerus oleh zaman. Mereka
(angkutan massal darat) dilahap dan dihantui oleh kendaraan bermotor yang
secara langsung menggerogoti jalan-jalan dipelosok DIY. Tanpa disadari, banyak
para sopir dan kenek bis- atas lalainya pemerintah mengatasi massifnya
kendaraan bermotor dan kebijakan
mengurangi subsidi BBM- meratapi nasib dan tinggal menunggu waktu kapan mereka
kehilangan perkejaan.
Fakta
yang terjadi di kota Jogja, berdasarkan hasil perbincangan saya dengan Marzuki-
supir bus angkutan reguler sejak tahun 70an- adalah bahwa 15 jalur yang pernah
dilewati bis-bis reguler, sekarang yang tersisa tinggal tiga saja. Marzuki
bahkan menyatakan bahwa lama-kelamaan, angkutan umum (termasuk bis Transjogja-
bis yang disubsidi Pemda DIY) akan bangkrut juga. Menurut Marzuki, ini semua
adalah karena kepemilikan kendaraan bermotor yang banyak oleh masyarakat DIY
dan masyarakat pendatang di DIY.
Jokowi
cenderung lebih mengutamakan program “Poros Maritimnya” yang masih
diawang-awang. Jokowi lebih memilih “program kartu Sakti” yang dampaknya akan
“menyakitkan” masyarakat, dimana masyarakat akan malas, manja, dan bergantung
dengan dana-dana stimulus tak manjur. Kita bisa melihat kontradiksi program
“kartu Sakti” Jokowi itu dengan wacananya yang ingin mengembangkan sektor
produktif masyarakat.
Sudah saatnya kita menolak kebijakan-kebijakan para penguasa yang tidak berpihak kepada kaum-kaum lemah. Salam Persma!!!
0 komentar:
Posting Komentar