Catatan & Puisi

,

Perkenalanku Dengan Tan Malaka

Gambar: ayobuka.com


Hari ini saya sedikit membaca buku terbitan Tempo tentang Tan Malaka. Judulnya adalah Tan Malaka: Bapak Republik Yang Dilupakan. Buku itu adalah salah satu bagian dari 4 seri buku Tempo tentang Bapak Bangsa. Selain Tan Malaka, ada Soekarno, Hatta, dan Sjahrir.

Soal Tan Malaka, sebenarnya perkenalanku dengan ia sudah cukup lama. Namun, memang harus saya akui bahwa perkenalan itu bukanlah perkenalan. Saya mulai mengetahui Tan Malaka ketika saat itu sedang dekat-dekatnya dengan bacaan yang agak kiri. Saya kemudian searching-searching terkait Marxisme, Komunisme, sekaligus Sosialisme. Munculah salah satu website yang merupakan kumpulan arsip pemikiran-pemikiran kiri. Langsung saja, ketika membuka website itu, Tan Malaka sederet dengan Karl Marx, Che Guevara, F. Engels, Lenin, Trotsky dll.

Kemudian saya klik Tan Malaka. Wis, muncullah berbagai judul tulisannya yang kurang lebih 30-an judul. Karya awalnya tentang Parlemen atau Soviet?. Itu terbit ditahun 1921. Saat itu umurnya masih terbilang muda, 24 tahun. Beberapa karya terkenal lainnya seperti Aksi Massa, Gerpolek, Madilog, Menuju Republik Indonesia, pun diarsipkan di website itu. Sungguh, website "kiri" yang lumayan joss.

Tanpa pikiran panjang, semua karya Tan Malaka yang diarsipkan di site tersebut ku lahap. Lahap disini bukan artinya dibaca, melainkan hanya men-save-as halamannya. Terus disimpan dalam satu folder bernama, kalau tidak salah, Komunisme. Sampai file laptopku hilang semua, tidak ada karyanya yang tuntas-purna saya baca. Hal itu memang saya akui. Niat membacaku masih buruk, hanya sekedar, paling tidak, 4-5 paragraf pembuka. Setelah itu, saya loncat ke karyanya yang lain. Saya sempat membaca Madilog, seperti yang diketahui, paragraf-paragraf awal Madilog sungguh membuat pusing. Bab 1 berjudul Logika Mistika.

Kemudian paragraf pertamanya dibuka dengan beberapa Firman Maha Dewa Rah dan kisah-kisah Mesir Kuno. Seperti yang kita ketahui, Rah (Ra) adalah salah satu dewa dalam mitologi mesir kuno. Siapa coba yang tidak pusing, apalagi dengan gaya bahasa lama (meskipun sudah tidak menggunakan ejaan lama). Tak perlu lama, Madilog kutinggalkan.

Sebenarnya, saat itu juga adalah masa-masa dimana Tan Malaka menjadi perbincangan dikalangan aktivis mahasiswa. Pasalnya, kalau tidak salah H. Poeze baru saja menerbitkan penelitiannya tentang Tan Malaka dan dijogja sendiri, diskusi-diskusi dan bedah buku Poeze tersebut langsung marak. Bahkan, saat itu, ketika saya berkunjung ke Himmah, sudah ada buku tebal Poeze tersebut. Kalau tidak salah bukunya ada tanda tangan langsun dari sang penulis.

Dimasa itulah saya membaca karya-karya Tan Malaka yang tak kunjung tuntas. Hasil dari loncat sana loncat sini tentang karya Tan Malaka itu hanyalah sedikit. Paling tidak saya tahu bahwa ia seorang Marxist yang tulen. Hanya itu tok. Saya juga sempat sedikit membaca SI Semarang dan Onderwijs. Intinya adalah konsepsi Tan Malaka soal pendidikan rakyat. Ada 3 konsep dasar pendidikan rakyat ala pejuang kelahiran Pandang Gadang, Suliki, Sumatera Barat.  Pertama, memberi senjata cukup, buat pencari penghidupan dalam dunia kemodalan. Kedua, memberi haknya murid-murid, yakni kesukaan hidup, dengan jalan pergaulan (Verenniging). Terakhir,  menunjukan kewajiban kelak, kepada berjuta-juta Kaum Kromo (kaum melarat).

 Dari pembacaan atas karya-karya dan sedikit searching ihwal Tan Malaka di Internet, saya juga mendapatkan bahwa ia pernah berpidato di Kominter (Komunis Internasional)-sebuah organisasi Komunis internasional. Sungguh hebat sekali Tan Malaka. Revolusioner sejati.

Kok, malah kejauhan curhatnya? Padahal awalnya dari buku Tempo itu. Ah, sudahlah.

Begitulah setidaknya perkenalanku dengan Tan Malaka yang sebenarnya tidak terlalu mendalam. Ketika hari ini saya memutuskan untuk membaca buku Tempo tersebut (padalah beberapa hari yang lalu saya baru memulai membaca novel Pulang karya Leila S. Chudori) saya bermaksud ingin mengenal Tan Malaka lebih dekat lagi.

Ketika tadi selesai membaca satu bab pertama, saya sudah mendapatkan ragam informasi yang tidak saya dapatkan dalam karya-karyannya. Salah satunya adalah dimana ia pernah mengajak Sjahrir untuk menjatuhkan Soekarno. Kemudian Sjahrir, menurut A.B Lubis (orang yang pernah mendapatkan perintah dari Soekarno untuk menangkap Tan Malaka), Sjahrir justru menantang Tan Malaka. Jika Tan Malaka bisa menunjukkan pengaruhnya sebesar 5 persen saja dari pengaruh Soekarno dikalangan rakyat, Sjahrir akan ikut bersekutu. Informasi itu saya dapatkan dalam esai Goenawan Mohammad yang berjudul Tan Malaka, Sejak Agustus Itu. Esai Mohammad itu menjadi semacam pengantar. Entah kenapa selalu saja ada Mohammad dalam produk-produk Tempo.

Beberapa informasi lainnya yang kudapatkan adalah tentang mapping perjalanannya semasa hidupnya. Tempo memang selalu menarik. Tempo membuat semacam infografis dimana digambarkan peta  yang menunjukan kemana saja Tan Malaka berkelana selama ini.  Tersebut dalam infografis itu ia telah berkelana ke Filipina, Hongkong, Burma, Singapura Malaysia, Shanghai, dan Malaysia. Tempat-tempat itu dikunjungi dalam rentang waktu 1925-1924.  Ia juga sempat berkelana ke Eropa. Sejak remaja, ia sudah disekolahkan ke Belanda. Beberapa tahun setelah itu ia pulang kembali ke Indonesia untuk menjadi guru di Deli, Sumatera Utara. Terus ia ke Semarang dan bergabung dengan Sarekat Islam. Saat masa-masa di Semarang, sekitar tahun 1920-an, ia mulai berkenalan dengan Marxisme

Selain informasi itu, ada juga informasi menarik dimana ia pernah bekerja sebagai guru, penulis, kerani (pegawai administrasi), Mandor, dan tukang jahit. Sungguh menarik. Saya malahan, setelah membaca satu bab ini, justru lebih tertarik buku ini daripada karya-karyanya. Haha. Tapi tidaklah, saya harus tetap membaca karyanya agar menemukan percikan pemikirannya. Paling tidak buku ini harus habis. Karena toh tidak susah dibaca dan banyak gambar serta infografisnya. Haha

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog

Diberdayakan oleh Blogger.