Catatan: Tinggalkan sejenak tulisan sarkastik. Untuk para fans-ku, Maap yach!
Dalam pembahasan
periodesasi DPM/LEM beberapa hari yang lalu, sempat terlontar argumentasi
beberapa Legislatif Universitas dan Fakultas yang cukup merepresentasikan
bagaimana kondisi aktivisme mahasiswa UII dalam beberapa Sidang Umum sebelumnya dan akhir-akhir ini yakni: Aktivis
mahasiswa yang terbelenggu karena “kesesatan berpikir” yang kemudian membawa
mereka ke jurang pragmatisme dalam berorganisasi.
Argumentasi yang kerap
kali dirapal oleh para legislatif terpilih tersebut, dalam mempertimbangkan
periodesasi, adalah mengenai persoalan akademik yang akan menghantuinya kelak
seperti: Masa studi selesai dan skripsi. Misalnya, “Beberapa legislatif kita
akan lulus dalam bulan itu, makanya periodesasinya mesti seperti ini!”. Atau, “Kita perlu mempertimbangkan masa studi
di fakultas X, apakah kita mau mengorbankan fakultas X itu dibekukan? Karena
orangnya sudah lulus semua?”, dan masih banyak lagi.
Pada akhirnya,
rasionalisiasi periodesasi tersebut tidak ditempatkan pada konteks ideologis
untuk membangun KM UII dan justru
ditempatkan pada seberapa masuk akalnya periodesasi itu untuk dapat
mengakomodir masa studi akademik “sang dewan” atau fungsionaris LEM yang akan
selesai nantinya.
Tulisan ini tidak
bermaksud apa-apa selain mengajukan gagasan dan kritik. Pun, bermaksud hendak
mengundang kolega aktivis mahasiswa UII untuk ikut mendiskusikan apa yang saya
anggap sebagai “kabar duka” ini. Pertanyaan menarik yang mengemuka dan perlu
dianalisa adalah mengapa "logika" tersebut terus menerus direproduksi
tiap tahunnya, apalagi dalam Sidang Umum KM UII yang merupakan forum musywarah tertinggi
mahasiswa UII itu? Tentu ada berbagai persepesi dan jawaban terkait akar
"sesat pikir" tersebut. Namun saya coba memberikan versi dan analisa saya
sendiri dalam tulisan ini.
Pertama. Logika tersebut
dibangun diatas "ketidakmengertian” dan “ke-gagal-pahaman" para
legislatif (atau siapa pun yang melontarkan argumentasi tersebut) terkait
bagaimana sebenarnya suatu organisasi itu di jalankan. Dalam terma yang sangat
umum, organisasi adalah suatu kelompok orang dan sekaligus alat untuk mencapai
tujuan bersama. Disini penekanan tujuan bersama menjadi keniscayaan penting.
Ketika logika yang dibangun justru sebaliknya, atau berorganisasi untuk meraup
keuntungan pribadi, tentu patut dipertanyakan ada kepentingan apa dibalik semua
itu.
Berangkat dari hal
tersebut, ada
ragam spekulasi yang kemudian bermunculan dalam tujuan berorganisasi. Mulai
dari punya misi tertentu, sekedar
mencari ketenaran, mencari kekuasaan, ingin “dilihat” orang lain, dan sampai
yang paling “saru” sekalipun:
Hanya untuk mendapatkan sertifikat kelembagaan untuk nantinya sebagai penunjang
kesuskesan dunia kerja kelak. Atau, kalau memang tidak ada sertifikat, yaitu
mendapatkan keuntungan pribadi dalam pengalaman-pengalaman dan relasi yang akan
menjamin status sosial kehidupan nantinya. Pada akhirnya, organisasi dilihat
bukan sebagai alat mencapai tujuan bersama, melainkan alat mencapai tujuan atau
kepentingan pribadi. Ragam spekulasi tersebut tak lain dan tak bukan bisa
dipengaruhi juga secara langsung oleh pola-pola berkehidupan/sistem yang saat
ini telah diberikan kepada kita.
Saya masih mengingat
bahwasanya dalam teori relasi individu-masyarakat, ada teori mengenai individu
yang mengkondisikan masyarakat, yang kalau tidak salah dipelopori oleh Max
Webber. Ada juga sebaliknya teori yang dipelopori Emile Durkheim yang
menyatakan bahwa masyarakat mengkondisikan individu atau disebut teori
kolektivisme. Atau dari perspektif relasionisme yang beranggapan bahwasanya
individu bisa mengkondisikan masyarakat dan sebaliknya -dimana individu
didalamnya juga dikondisikan oleh relasi-relasi sosialnya, yang seringkali
tidak mereka ciptakan dan secara otomatis relasi sosial atau sistem itu
bersifat "terberi" bagi para individu tersebut.
Saya mengkontekskan “sesat pikir”
ini dalam kerangka relasi sosial karena saya meyakini fenomena ini bukan dalam
lingkup aktivis mahasisnya saja , melainkan juga terjadi dalam mahasiswa umum
–sehingga kritik ini, pada umumnya, sekaligus ditujukan kepada “masyarakat
mahasiswa UII”. Dalam
kasus “sesat pikir” ini, saya ingin mengartikulasikannya kedalam konteks teori
relasionisme. Saya berasumsi bahwa “sesat pikir” ini secara
langsung telah dikondisikan dan diberikan oleh arus modernitas dan logika
kapitalistik masyarakat saat ini yang cenderung mengedepankan individualisme
dan cenderung mengedepankan pengakuan atas status sosial yang dimiliki tiap
individunya.
Tak lupa pula, “sesat pikir”
tersebut juga telah diwariskan oleh aktivis-aktivis sebelumnya. Apalagi
ditambah dengan budaya patronisme angkatan muda ke angkatan tua yang kerap kali
dilakukan dan kemudian terinjeksikan dalam pola-pola berorganisasi kita saat
ini. Sehingga, pada akhirnya "sesat pikir" tersebut diterima sebagai
suatu kebenaran mutlak oleh para aktivis tersebut. Ketika sudah diterima
menjadi kebenaran mutlak, secara otomatis juga menjadi sesuatu hal yang
kemudian agak sulit untuk diganggu-gugat. Saya rasa banyak kultur atau
pemahaman dalam berorganisasi dimana kultur dan pemahaman tersebut tidak
mempunyai rasionalisasi lain selain karena itu adalah kultur yang diwariskan
oleh “angkatan tua”. Hal tersebut dikarenakan kurangnya inisiatif untuk
meragukan dan mempertanyakan segala bentuk kultur itu.
Kedua. Sesat berpikir tersebut akan tambah parah
dan akut ketika dicampur adukan dengan hal yang dianggap moralistik seperti
"lulus cepat karena tuntutan dan amanah orang tua". Akan tetapi, argumen
yang justru dianggap moralistik itu, saya rasa, justru adalah kebalikannya:
Amoral. Amoral karena mengedepankan ego pribadi. Bukankah seharusnya kita
bisa meyakinkan orang tua akan tanggung jawab yang saat ini kita emban sebagai
wakil mahasiswa -yang memang dibutuhkan waktu ekstra untuk menyelesaikan
tanggung jawab itu?
Akar persoalan yang ketiga adalah kurangnya
studi radikal terkait persoalan mahasiswa pada umumnya dan gerakan mahasiswa.
Persoalan ini saya kutip dari tulisan Andre Barahamin dalam Indoprogress yang
tulisannya bermaksud untuk mengkritik gerakan mahasiswa yang terus terang lebih
mengedepankan "memori" dan "romantika" sebagai basis
analisa pergerakan. Sehingga, menurut Barahamin, telah menutup ruang diskusi lebih lanjut terkait
bagaimana seharusnya mahasiswa merumuskan pola-pola pergerakan. Namun, terlepas
dari kritik Barahamin tersebut, pada kasus sesat pikir ini, saya justru
bertanya, sudah sejauh mana aktivis mahasiswa (yang jelas adalah motor
organisasi besar bernama KM UII) ini melakukan, setidaknya, studi sejarah mengenai
gerakan mahasiswa? Apa jangan-jangan kebanyakan dari kita belum memulai?
Memutus "Sesat Pikir"
Jika dikaitkan dalam
konteks teori relasionisme yang dijabarkan diatas, keadaan "sesat pikir"
tersebut bisa diputuskan melalui peran individu didalam organisasi tersebut
atau dengan peran agensi-agensi (kelompok, serikat, komunitas mahasiswa) yang
membawa semangat tinggi perubahan. Individu atau agensi tersebut mestinya telah
sadar akan dampak-dampak dan mudarat yang terjadi akibat "kesesatan
berpikir" tersebut. Sehingga individu dan agensi tersebut mesti
menempatkan diri, meminjam istilah Antonio Gramsci, sebagai "intelektual
organik", dimana memiliki tugas untuk melakukan suatu gerakan penyadaran
untuk mengemansipasi (baca: membebaskankan) “sesat pikir” serta pragmatisme
aktivisme mahasiswa tersebut.
Pola-pola gerakan
tersebut bisa dilakukan melalui berbagai instrumen. Semisal diskusi. Diskusi
itu sendiri bisa dimulai dengan melakukan pembacaan terkait realitas kemahasiswaan
saat ini dan mencari tahu apa sebenarnya faktor yang mempengaruhi realitas
tersebut. Instrumen lainnya yaitu melalui tulisan opini di media Pers
Mahasiswa. Apalagi, KM UII mempunyai banyak Persma, seharusnya perdebatan
gagasan-gagasan kritis atau mengenai isu-isu hangat bisa diwadahi di media
Persma.
Media, saya rasa, sangat
efektif sekali dalam menyebarkan gagasan dan kemungkinan memiliki
kekuatan yang massif. Seharusnya aktivis mahasiswa menyadari hal ini.
Diskusi-diskusi yang dilakukan pada tataran organisasi masing-masing seharunya
bisa dibuat tulisan atau artikel yang kemudian dikirim di media Persma.
Atau tidak melakukan propaganda-propaganda yang secara langsung
menghantam objeknya melalui media alternatif semacam sastra dan goresan ilustrasi
atau tidak menyebar pamflet-pamflet propaganda tersebut.
Pada akhirnya, mahasiswa
seharusnya dituntut untuk tidak menyesuaikan sistem yang notabene bisa
memberangus gerakan mahasiswa tersebut. Periode baru selalu menjadi ajang
untuk berpengharapan yang baru. Hidup Mahasiswa UII, Bangkitlah Kampus UII !
0 komentar:
Posting Komentar