Catatan & Puisi

Kritik Atas Miskinnya Aktivitas Intelektual di Grup FKPM Facebook



Suatu Otokritik bagi Forum Komunikasi Pers Mahasiswa UII

Mungkin saat kawan-kawan yang luhur membaca tulisan ini, kawan-kawan mungkin sedang reportase, menulis, berdiskusi ataupun ngopi sembari membaca buku. Saya sangat memohon maaf jika tulisan ini mengganggu kawan-kawan yang sedang menjalankan hobi, tugas organisasi, atau sedang memarahi kader-kader dan pengurus-pengurusnya yang sering mangkir. Tulisan ini tidak ingin bermaksud untuk memecah belah pertalian bin jalinan solidaritas kita antar sesama pegiat pers mahasiswa di UII. Tulisan ini bisa dianggap serius ataupun angin lalu- mungkin angin yang telah menghempaskan “Butiran Debu”nya Rumor.

Begini “kawan-saudara-friend-bos” ku, kita sudah sangat menyadari bahwasanya awak-awak persma begitu jeli dan mempunyai daya kritis yang sangat super sekali dalam menanggapi berbagai isu. Sampai begitu kritisnya, ada beberapa persma diluar UII yang mengadopsi kultur gerakan mahasiswa: Turun kejalan, aksi, bakar ban dll. Tetapi, bukan itu yang ingin saya coba bahas disini. Itu semua adalah bukti bagaimana awak persma-pada umumnya-mempunyai suatu give yaitu nalar yang begitu kritisnya, dan selalu ingin melancarkan kritik ke manapun dimana ketidakadilan terjadi.

Nah, lantas bagaimana dengan awak persma di UII? Oh, jangan ditanyakan, kita jelas mempunyai nalar dan wacana yang begitu kritisnya (meskipun kita tidak mengadopsi kultur pergerakan, karena patokan turun kejalan memang tidak menjadi standar bagaimana daya kritis kita). Lihat saja produk-produk kita yang sudah diterbitkan: Majalah, bulletin, online ataupun acara-acara diskusi yang sering kita lakukan. Begitu hebatnya bukan? (sehingga pantaslah kita disebut pemikir, essais, wacana-is, jurnalis yang idealis, dan tak lupa, membawa serta nilai-nilai keislaman yang begitu universe)

Tetapi begini “bos-ku", saking begitu kritisnya kita, kita melupakan apa yang sedemikian menghantuiku  dari pas mandi dikosan tadi sampai datang ke kampus barusan. Kita melupakan suatu aktivitas intelektual yang penting, yang mungkin selama ini tidak kita pikirkan; atau menguap begitu saja dalam acara nongkrong dan ngopi; atau tak coba kita tuliskan dalam bentuk kongkrit. Aktivitas itu yakni: Otokritik dalam bagaimana kita berjejaring selama ini.

Romantisme Berkarib
Seperti yang diketahui, kita memiliki forum yang dinamakan Forum Komunikasi PersMa (FKPM) yang telah sedemikian rupanya sehingga sudah menjadi kultur berjejaring kita. Begitu intimnya kita sehingga menghasilkan-meminjam judul lagu Aerosmith- “Sweet Emotion”. Manis kawan, begitu manis dan sungguh “too sweet to forget” kalo kata Slank. Kita saling bercengkrama, ngopi, ada canda dan tawa, saling mengkritisi kebijakan, berdialektika, curha-curhatan, sampai pada suatu tataran yang membuat kita waspada satu sama lainnya: Proses bribik-membribik.

Lantas dari FKPM itu kita membuat grup di dunia maya seperti Facebook, BBM, atau “Line”, “Skype”, “Omegle” dan “SMS”, yang, lagi dan lagi, untuk memperkaya khazanah intelektual, daya kritis, isu ataupun hal yang menjadi prinsip divisi Jaker –“Jarang Kerja”- kita: mencari Bribikan. Lihatlah, betapa kompaknya kita semua. Kita tidak perlu menjadi OC acara Makrab  untuk akrab. Tak perlu dipressing SC pun kita sudah menyatu. Kekuatan apakah yang membuat kita, sesama pegiat persma UII, menjadi sebegitu romantisnya? Pertayaan itu monggo dipikirkan dan di kaji, entah menggunakan metode melihat realitas seteoritik mungkin seperti Materialisme historis-dialektiknya Marx, Idealisme kaum Hegelian, atau sampai yang berbau radikal nan fundamentalis bin vandalis sekalipun. Monggo!

Tetapi yang menjadi kegelisahan hatiku adalah lebih ke pola berjejaring kita di dunia maya. Kegelisahanku menjadi kian akutnya ketika melihat Grup Facebook FKPM yang makin hari makin tidak menemukan gaungnya. Hanya segelintir orang saja yang masih menaruh minat untuk berdiskusi di grup tersebut. Bisa dihitung jari, siapa yang berbagi kasus, isu, ataupun pendapat. Kawan-kawan bisa melihat bagaimana jirih payah beberapa kawan persma yang disela-sela kesibukannya, masih ingin berbagi dan berdiskusi. Kawan-kawan persma itulah yang kemudian saya sebut “Awak Persma Romantik”.  Kenapa? Karena mereka masih ingin mejaga romantisme pegiat persma di UII.

Namun, kita pun bisa melihat bagaimana respon dari kawan-kawan persma yang “non-romantik”. Lagi dan lagi, hanya orang-orang di komunitas “awak Persma Romantik” itu saja yang merespon. Padahal, ada sekiranya puluhan awak persma yang bergabung, dan ada setidaknya belasan orang yang me-Seen status kawan persma “romantik” tersebut.

Saya kemudian menjadi bingung, ada hal apa yang membuat kita tidak sebegitu aktifnya menghidupkan grup FKPM di FB? Apa sebenarnya akar permasalahannya?
Saya kemudian mencoba menganalisa. Dari hasil bertapa di ruang Merah-hitam ini, saya mendapat beberapa jawaban dan kemungkinan: Tidak punya internet, paket habis, akun FB dibajak dll. Tapi, ada satu kemungkinan yang menjadi ketakutanku, yang mungkin menjadi determinan utama: Tidak bermain Facebook lagi.

Alamak, itu yang paling mengerikan dibalik semuanya. Lebih mengerikan dari hal yang paling mengerikan didunia ini. Tapi begini “Friend-ku”, bukannya ingin memaksa dan ingin mempromosi, tapi, cobalah dipikirkan lagi pentingnya media Facebook dan grup FKPM. Saya rasa, Facebook merupakan media sosial yang paling merakyat dan enak untuk berdiskusi. Tidak seperti twitter yang memiliki keterbatasan kata; BBM, LINE, Whatsapp yang hanya bisa dimiliki segelintir orang saja. Lihat juga berbagai fiturnya: unggah file, catatan, polling kecil-kecilan, menampung kata “sa’penake dewe” yang sudah pasti lebih komprehensif dalam memberitakan banyak hal.
Seharusnya itu yang kawan-kawan persma perhatikan dan telaah. Saya rasa, alasan pemilihan Facebook sebagai media diskusi FKPM di awal  adalah hal-hal yang telah saya jelaskan tadi. Jadi, “kawan-friend-bos-bro-sis” ku tercinta, kita mesti mengapresiasi dan bersyukur atas keberadaan Facebook. Jika band Kiss menyanyikan lagunya berjudul “God Gave Rock n Roll to You”, aku sendiri berani berdendang dan bernyanyi, “God Gave Facebook n All the service to You

Tapi lagi dan lagi, saya masih bertanya-tanya, apakah karena hal itu (tidak bermain facebook) yang menjadi akar permasalahannya? Atau masih ada sebenarnya hal yang menjadi inti dasar? Apakah bijak kita hanya sampai pada tataran persoalan Facebook tsb? Saya rasa tidak.

Saya mempunyai hipotesa yang lain terkait hal mendasar yang membuat kita tidak sedemikian romantisnya di grup FKPM FB. Satu yang menjadi pertanyaan saya sebelum mengeluarkan tesis ini adalah bagaimana sebenarnya Kawan-Kawan Persma menempatkan Grup FB FKPM ini?

Apakah hanya sebagai ajang komunikasi saja? Ajang bergaul? Ajang menyebarkan produk? Ajang promote acara kegiatan? Apakah hanya itu?

Grup FB FKPM sebagai langkah Praksis-Emansipatoris
Saya rasa sebagian besar kita pastinya menempatkan grup FB FKPM tersebut sebatas itu saja. Kita tidak pernah berpikir bagaimana suatu grup diskusi bisa menemukan langkah praksis-emansipatorisnya. Kita seharusnya dan semestinya menempatkan grup FB FKPM sebagai aktivitas intelektual dan sebagai langkah menuju praksis-emansipatoris, yang nantinya akan diserap oleh lembaga kita masing-masing dan akan di-manifestasikan kedalam setiap program kerja kita (bulletin, majalah, pemutaran film, dll). Menempatkan Grup FB FKPM ataupun FKPM dalam kerangka logika tersebut, saya rasa, akan menumbuhkan kembali gairah kita dalam berdiskusi. Melalui Grup FKPM FB, kita bisa memantik suatu isu yang menarik.

Kemudian, dari grup FB FKPM, kita bawa isu tersebut ke diskusi ataupun nongkrong dan ngopi bareng. Selanjutnya, bisa jadi kita menentukan sikap dan langkah praksis-emansipatoris kita. Maka daripada itu, sudah saatnya kita menyerukan keberpihakan kita kepada Facebook, dan sudah saatnya kita menghidupkan kembali romantisme aktivitas intelektual kita. Hilangkan sikap ego kelembagaan. Bukankah anak persma itu suka berdiskusi dan mencari teman baru?

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog

Diberdayakan oleh Blogger.