Suatu Otokritik bagi Forum Komunikasi Pers Mahasiswa UII
Mungkin saat kawan-kawan yang luhur membaca tulisan ini,
kawan-kawan mungkin sedang reportase, menulis, berdiskusi ataupun ngopi sembari membaca buku. Saya sangat
memohon maaf jika tulisan ini mengganggu
kawan-kawan yang sedang menjalankan hobi, tugas organisasi, atau sedang
memarahi kader-kader dan pengurus-pengurusnya yang sering mangkir. Tulisan ini
tidak ingin bermaksud untuk memecah belah pertalian bin jalinan solidaritas kita antar sesama pegiat pers mahasiswa di
UII. Tulisan ini bisa dianggap serius ataupun angin lalu- mungkin angin yang telah menghempaskan
“Butiran Debu”nya Rumor.
Begini “kawan-saudara-friend-bos”
ku, kita sudah sangat menyadari bahwasanya awak-awak persma begitu jeli dan
mempunyai daya kritis yang sangat super sekali dalam menanggapi berbagai isu.
Sampai begitu kritisnya, ada beberapa persma diluar UII yang mengadopsi kultur
gerakan mahasiswa: Turun kejalan, aksi, bakar ban dll. Tetapi, bukan itu yang
ingin saya coba bahas disini. Itu semua adalah bukti bagaimana awak persma-pada
umumnya-mempunyai suatu give yaitu nalar
yang begitu kritisnya, dan selalu ingin melancarkan kritik ke manapun dimana
ketidakadilan terjadi.
Nah, lantas bagaimana dengan awak persma di UII? Oh, jangan
ditanyakan, kita jelas mempunyai nalar dan wacana yang begitu kritisnya
(meskipun kita tidak mengadopsi kultur pergerakan, karena patokan turun kejalan
memang tidak menjadi standar bagaimana daya kritis kita). Lihat saja
produk-produk kita yang sudah diterbitkan: Majalah, bulletin, online ataupun
acara-acara diskusi yang sering kita lakukan. Begitu hebatnya bukan? (sehingga
pantaslah kita disebut pemikir, essais, wacana-is, jurnalis yang idealis, dan
tak lupa, membawa serta nilai-nilai keislaman yang begitu universe)
Tetapi begini “bos-ku", saking begitu kritisnya kita, kita
melupakan apa yang sedemikian menghantuiku
dari pas mandi dikosan tadi sampai datang ke kampus barusan. Kita
melupakan suatu aktivitas intelektual yang penting, yang mungkin selama ini
tidak kita pikirkan; atau menguap begitu saja dalam acara nongkrong dan ngopi; atau
tak coba kita tuliskan dalam bentuk kongkrit. Aktivitas itu yakni: Otokritik
dalam bagaimana kita berjejaring selama ini.
Romantisme Berkarib
Seperti yang diketahui, kita memiliki forum yang dinamakan
Forum Komunikasi PersMa (FKPM) yang telah sedemikian rupanya sehingga sudah menjadi
kultur berjejaring kita. Begitu intimnya kita sehingga menghasilkan-meminjam
judul lagu Aerosmith- “Sweet Emotion”.
Manis kawan, begitu manis dan sungguh “too
sweet to forget” kalo kata Slank. Kita saling bercengkrama, ngopi, ada canda dan tawa, saling
mengkritisi kebijakan, berdialektika, curha-curhatan, sampai pada suatu tataran
yang membuat kita waspada satu sama lainnya: Proses bribik-membribik.
Lantas dari FKPM itu kita membuat grup di dunia maya seperti
Facebook, BBM, atau “Line”, “Skype”, “Omegle” dan “SMS”, yang, lagi dan lagi,
untuk memperkaya khazanah intelektual, daya kritis, isu ataupun hal yang
menjadi prinsip divisi Jaker –“Jarang Kerja”- kita: mencari Bribikan. Lihatlah,
betapa kompaknya kita semua. Kita tidak perlu menjadi OC acara Makrab untuk akrab. Tak perlu dipressing SC pun kita
sudah menyatu. Kekuatan apakah yang membuat kita, sesama pegiat persma UII, menjadi
sebegitu romantisnya? Pertayaan itu monggo dipikirkan dan di kaji, entah
menggunakan metode melihat realitas seteoritik mungkin seperti Materialisme
historis-dialektiknya Marx, Idealisme kaum Hegelian, atau sampai yang berbau
radikal nan fundamentalis bin vandalis sekalipun. Monggo!
Tetapi yang menjadi kegelisahan hatiku adalah lebih ke pola
berjejaring kita di dunia maya. Kegelisahanku menjadi kian akutnya ketika
melihat Grup Facebook FKPM yang makin hari makin tidak menemukan gaungnya.
Hanya segelintir orang saja yang masih menaruh minat untuk berdiskusi di grup
tersebut. Bisa dihitung jari, siapa yang berbagi kasus, isu, ataupun pendapat.
Kawan-kawan bisa melihat bagaimana jirih payah beberapa kawan persma yang
disela-sela kesibukannya, masih ingin berbagi dan berdiskusi. Kawan-kawan
persma itulah yang kemudian saya sebut “Awak Persma Romantik”. Kenapa? Karena mereka masih ingin mejaga
romantisme pegiat persma di UII.
Namun, kita pun bisa melihat bagaimana respon dari kawan-kawan
persma yang “non-romantik”. Lagi dan lagi, hanya orang-orang di komunitas “awak
Persma Romantik” itu saja yang merespon. Padahal, ada sekiranya puluhan awak
persma yang bergabung, dan ada setidaknya belasan orang yang me-Seen status kawan persma “romantik”
tersebut.
Saya kemudian menjadi bingung, ada hal apa yang membuat kita
tidak sebegitu aktifnya menghidupkan grup FKPM di FB? Apa sebenarnya akar
permasalahannya?
Saya kemudian mencoba menganalisa. Dari hasil bertapa di ruang
Merah-hitam ini, saya mendapat beberapa jawaban dan kemungkinan: Tidak punya
internet, paket habis, akun FB dibajak dll. Tapi, ada satu kemungkinan yang
menjadi ketakutanku, yang mungkin menjadi determinan utama: Tidak bermain
Facebook lagi.
Alamak, itu yang paling mengerikan dibalik semuanya. Lebih
mengerikan dari hal yang paling mengerikan didunia ini. Tapi begini “Friend-ku”, bukannya ingin memaksa dan
ingin mempromosi, tapi, cobalah dipikirkan lagi pentingnya media Facebook dan
grup FKPM. Saya rasa, Facebook merupakan media sosial yang paling merakyat dan
enak untuk berdiskusi. Tidak seperti twitter yang memiliki keterbatasan kata;
BBM, LINE, Whatsapp yang hanya bisa dimiliki segelintir orang saja. Lihat juga
berbagai fiturnya: unggah file, catatan, polling kecil-kecilan, menampung kata “sa’penake dewe” yang sudah pasti lebih
komprehensif dalam memberitakan banyak hal.
Seharusnya itu yang kawan-kawan persma perhatikan dan
telaah. Saya rasa, alasan pemilihan Facebook sebagai media diskusi FKPM di awal
adalah hal-hal yang telah saya jelaskan
tadi. Jadi, “kawan-friend-bos-bro-sis” ku tercinta, kita mesti mengapresiasi
dan bersyukur atas keberadaan Facebook. Jika band Kiss menyanyikan lagunya
berjudul “God Gave Rock n Roll to You”,
aku sendiri berani berdendang dan bernyanyi, “God Gave Facebook n All the service to You”
Tapi lagi dan lagi, saya masih bertanya-tanya, apakah karena
hal itu (tidak bermain facebook) yang menjadi akar permasalahannya? Atau masih
ada sebenarnya hal yang menjadi inti dasar? Apakah bijak kita hanya sampai pada
tataran persoalan Facebook tsb? Saya rasa tidak.
Saya mempunyai hipotesa yang lain terkait hal mendasar yang
membuat kita tidak sedemikian romantisnya di grup FKPM FB. Satu yang menjadi pertanyaan
saya sebelum mengeluarkan tesis ini adalah bagaimana sebenarnya Kawan-Kawan
Persma menempatkan Grup FB FKPM ini?
Apakah hanya sebagai ajang komunikasi saja? Ajang bergaul? Ajang
menyebarkan produk? Ajang promote
acara kegiatan? Apakah hanya itu?
Grup FB FKPM sebagai langkah Praksis-Emansipatoris
Saya rasa sebagian besar kita pastinya menempatkan grup FB
FKPM tersebut sebatas itu saja. Kita tidak pernah berpikir bagaimana suatu grup
diskusi bisa menemukan langkah praksis-emansipatorisnya. Kita seharusnya dan
semestinya menempatkan grup FB FKPM sebagai aktivitas intelektual dan sebagai
langkah menuju praksis-emansipatoris, yang nantinya akan diserap oleh lembaga
kita masing-masing dan akan di-manifestasikan kedalam setiap program kerja kita
(bulletin, majalah, pemutaran film, dll). Menempatkan Grup FB FKPM ataupun FKPM
dalam kerangka logika tersebut, saya rasa, akan menumbuhkan kembali gairah kita
dalam berdiskusi. Melalui Grup FKPM FB, kita bisa memantik suatu isu yang
menarik.
Kemudian, dari grup FB FKPM, kita bawa isu tersebut ke diskusi ataupun nongkrong dan ngopi bareng. Selanjutnya, bisa jadi kita menentukan sikap dan langkah praksis-emansipatoris kita. Maka daripada itu, sudah saatnya kita menyerukan keberpihakan kita kepada Facebook, dan sudah saatnya kita menghidupkan kembali romantisme aktivitas intelektual kita. Hilangkan sikap ego kelembagaan. Bukankah anak persma itu suka berdiskusi dan mencari teman baru?
Kemudian, dari grup FB FKPM, kita bawa isu tersebut ke diskusi ataupun nongkrong dan ngopi bareng. Selanjutnya, bisa jadi kita menentukan sikap dan langkah praksis-emansipatoris kita. Maka daripada itu, sudah saatnya kita menyerukan keberpihakan kita kepada Facebook, dan sudah saatnya kita menghidupkan kembali romantisme aktivitas intelektual kita. Hilangkan sikap ego kelembagaan. Bukankah anak persma itu suka berdiskusi dan mencari teman baru?
0 komentar:
Posting Komentar